Hanya sebuah catatan pemikiran sederhana

Feat

KUMPULAN PUISI W. S. RENDRA TERBARU 2016

ws rendra





1. SAJAK PEPERANGAN ABIMANYU

(Untuk puteraku, Isaias Sadewa)
Oleh :
W.S. Rendra
Ketika maut mencegatnya di delapan penjuru. 
Sang ksatria berdiri dengan mata bercahaya.
 
Hatinya damai,
 
di dalam dadanya yang bedah dan berdarah,
 
karena ia telah lunas
 
menjalani kewjiban dan kewajarannya.
Setelah ia wafat 
apakah petani-petani akan tetap menderita,
 
dan para wanita kampung
 
tetap membanjiri rumah pelacuran di kota ?
 
Itulah pertanyaan untuk kita yang hidup.
 
Tetapi bukan itu yang terlintas di kepalanya
 
ketika ia tegak dengan tubuh yang penuh luka-luka.
 
Saat itu ia mendengar
 
nyanyian angin dan air yang turun dari gunung.
Perjuangan adalah satu pelaksanaan cita dan rasa. 
Perjuangan adalah pelunasan kesimpulan penghayatan.
 
Di saat badan berlumur darah,
 
jiwa duduk di atas teratai.
Ketika ibu-ibu meratap 
dan mengurap rambut mereka dengan debu,
 
roh ksatria bersetubuh dengan cakrawala
 
untuk menanam benih
 
agar nanti terlahir para pembela rakyat tertindas
 
– dari zaman ke zaman
Jakarta, 2 Sptember 1977 
Potret Pembangunan dalam Puisi


2. SAJAK MATAHARI
Oleh : 
W.S. Rendra
Matahari bangkit dari sanubariku. 
Menyentuh permukaan samodra raya.
 
Matahari keluar dari mulutku,
 
menjadi pelangi di cakrawala.
Wajahmu keluar dari jidatku, 
wahai kamu, wanita miskin !
 
kakimu terbenam di dalam lumpur.
 
Kamu harapkan beras seperempat gantang,
 
dan di tengah sawah tuan tanah menanammu !
Satu juta lelaki gundul 
keluar dari hutan belantara,
 
tubuh mereka terbalut lumpur
 
dan kepala mereka berkilatan
 
memantulkan cahaya matahari.
 
Mata mereka menyala
 
tubuh mereka menjadi bara
 
dan mereka membakar dunia.
Matahri adalah cakra jingga 
yang dilepas tangan Sang Krishna.
 
Ia menjadi rahmat dan kutukanmu,
 
ya, umat manusia !
Yogya, 5 Maret 1976 
Potret Pembangunan dalam Puisi
3. SAJAK PULAU BALI
Oleh : 
W.S. Rendra
Sebab percaya akan keampuhan  industri 
dan yakin bisa memupuk modal nasional
 
dari kesenian dan keindahan alam,
 
maka Bali menjadi obyek pariwisata.
Betapapun : 
tanpa basa-basi keyakinan seperti itu,
 
Bali harus dibuka untuk pariwisata.
 
Sebab :
 
pesawat-pesawat terbang jet sudah dibikin,
 
dan maskapai penerbangan harus berjalan.
 
Harus ada orang-orang untuk diangkut.
 
Harus diciptakan tempat tujuan untuk dijual.
Dan waktu senggang manusia, 
serta masa berlibur untuk keluarga,
 
harus bisa direbut oleh maskapai
 
untuk diindustrikan.
Dan Bali, 
dengan segenap kesenian,
 
kebudayaan, dan alamnya,
 
harus bisa diringkaskan,
 
untuk dibungkus dalam kertas kado,
 
dan disuguhkan pada pelancong.
Pesawat terbang jet di tepi rimba Brazilia, 
di muka perkemahan kaum Badui,
 
di sisi mana pun yang tak terduga,
 
lebih mendadak dari mimpi,
 
merupakan kejutan kebudayaan.
Inilah satu kekuasaan baru. 
Begitu cepat hingga kita terkesiap.
 
Begitu lihai sehingga kita terkesima.
Dan sementara kita bengong, 
pesawat terbang jet yang muncul dari mimipi,
 
membawa bentuk kekuatan modalnya :
 
lapangan terbang. “hotel – bistik – dan – coca cola”,
 
jalan raya, dan para pelancong.
“Oh, look, honey – dear ! 
Lihat orang-orang pribumi itu!
 
Mereka memanjat pohon kelapa seperti kera.
 
Fantastic ! Kita harus memotretnya ! 
…………………………..
Awas ! Jangan dijabat tangannya ! 
senyum saja
 and say hello. 
You see, tangannya kotor 
Siapa tahu ada telor cacing di situ.
 
…………………….
My God, alangkah murninya mereka. 
Ia tidak menutupi teteknya !
 
Look, John, ini benar-benar tetek. 
Lihat yang ini ! O, sempurna !
 
Mereka bebas dan spontan.
 
Aku ingin seperti mereka…..
 
Eh, maksudku…..
 
Okey ! Okey !….Ini hanya pengandaian saja. 
Aku tahu kamu melarang aku tanpa beha.
 
Look, now, John, jangan cemberut ! 
Berdirilah di sampingnya,
 
aku potret di sini.
 
Ah !
 Fabolous !”
Dan Bank Dunia 
selalu tertarik membantu negara miskin
 
untuk membuat proyek raksasa.
 
Artinya : yang 90 % dari bahannya harus diimpor.
Dan kemajuan kita 
adalah kemajuan budak
 
atau kemajuan penyalur dan pemakai.
Maka di Bali 
hotel-hotel pribumi bangkrut
 
digencet oleh
 packaged tour.
Kebudayaan rakyat ternoda 
digencet standar dagang internasional.
Tari-tarian bukan lagi satu mantra, 
tetapi hanya sekedar tontonan hiburan.
 
Pahatan dan ukiran  bukan lagi ungkapan jiwa,
 
tetapi hanya sekedar kerajinan tangan.
Hidup dikuasai kehendak manusia, 
tanpa menyimak jalannya alam.
 
Kekuasaan kemauan manusia,
 
yang dilembagakan dengan kuat,
 
tidak mengacuhkan naluri ginjal,
 
hati, empedu, sungai, dan hutan.
 
Di Bali :
 
pantai, gunung, tempat tidur dan pura,
 
telah dicemarkan
Pejambon, 23 Juni 1977. 
Potret Pembangunan dalam Puisi

sumber : http://ainuttijar.blogspot.co.id/2012/11/kumpulan-puisi-karangan-ws-rendra_3.html
Aku Tulis Pamplet Ini Aku tulis pamplet ini karena lembaga pendapat umum ditutupi jaring labah-labah Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk, dan ungkapan diri ditekan menjadi peng – iya – an Apa yang terpegang hari ini bisa luput besok pagi Ketidakpastian merajalela. Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki menjadi marabahaya menjadi isi kebon binatang Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi, maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan. Tidak mengandung perdebatan Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan Aku tulis pamplet ini karena pamplet bukan tabu bagi penyair Aku inginkan merpati pos. Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian. Aku tidak melihat alasan kenapa harus diam tertekan dan termangu. Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar. Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju. Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran ? Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan. Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka. Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api. Rembulan memberi mimpi pada dendam. Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah yang teronggok bagai sampah Kegamangan. Kecurigaan. Ketakutan. Kelesuan. Aku tulis pamplet ini karena kawan dan lawan adalah saudara Di dalam alam masih ada cahaya. Matahari yang tenggelam diganti rembulan. Lalu besok pagi pasti terbit kembali. Dan di dalam air lumpur kehidupan, aku melihat bagai terkaca : ternyata kita, toh, manusia ! Pejambon Jakarta 27 April 1978 Bahwa Kita Ditantang Seratus Dewa Pengarang: W.S Rendra Aku tulis sajak ini untuk menghibur hatimu Sementara engkau kenangkan encokmu kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang Dan juga masa depan kita yang hampir rampung dan dengan lega akan kita lunaskan. Kita tidaklah sendiri dan terasing dengan nasib kita Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan. Suka duka kita bukanlah istimewa kerana setiap orang mengalaminya Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh Hidup adalah untuk mengolah hidup bekerja membalik tanah memasuki rahsia langit dan samodra serta mencipta dan mengukir dunia. Kita menyandang tugas, kerna tugas adalah tugas. Bukannya demi sorga atau neraka. tetapi demi kehormatan seorang manusia. kerana sesungguhnya kita bukanlah debu meski kita telah reyot,tua renta dan kelabu. Kita adalah kepribadian dan harga kita adalah kehormatan kita. Tolehlah lagi ke belakang ke masa silam yang tak seorang pun berkuasa menghapusnya. Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna. Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita. sembilan puluh tahun yang selalu bangkit melewatkan tahun-tahun lama yang porak peranda. Dan kenangkanlah pula bagaimana dahulu kita tersenyum senantiasa menghadapi langit dan bumi,dan juga nasib kita. Kita tersenyum bukanlah kerana bersandiwara. Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok. Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap. Sikap kita untuk Tuhan,manusia sesama,nasib dan kehidupan. Lihatlah! sembilan puluh tahun penuh warna Kenangkanlah bahawa kita telah selalu menolak menjadi koma. Kita menjadi goyah dan bongkok kerna usia nampaknya lebih kuat dr kita tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan. Aku tulis sajak ini untuk menghibur hatimu Sementara kau kenangkan encokmu kenangkanlah pula bahwa hidup kita ditantang seratus dewa. 1972 Doa Seorang Serdadu Sebelum Berperang Tuhanku, WajahMu membayang di kota terbakar dan firmanMu terguris di atas ribuan kuburan yang dangkal Anak menangis kehilangan bapa Tanah sepi kehilangan lelakinya Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia Apabila malam turun nanti sempurnalah sudah warna dosa dan mesiu kembali lagi bicara Waktu itu, Tuhanku, perkenankan aku membunuh perkenankan aku menusukkan sangkurku Malam dan wajahku adalah satu warna Dosa dan nafasku adalah satu udara. Tak ada lagi pilihan kecuali menyadari -biarpun bersama penyesalan- Apa yang bisa diucapkan oleh bibirku yang terjajah ? Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai mendekap bumi yang mengkhianatiMu Tuhanku Erat-erat kugenggam senapanku Perkenankan aku membunuh Perkenankan aku menusukkan sangkurku Mimbar Indonesia Th. XIV, No. 25 18 Juni 1960 Gerilya Tubuh biru tatapan mata biru lelaki berguling di jalan Angin tergantung terkecap pahitnya tembakau bendungan keluh dan bencana Tubuh biru tatapan mata biru lelaki berguling dijalan Dengan tujuh lubang pelor diketuk gerbang langit dan menyala mentari muda melepas kesumatnya Gadis berjalan di subuh merah dengan sayur-mayur di punggung melihatnya pertama Ia beri jeritan manis dan duka daun wortel Tubuh biru tatapan mata biru lelaki berguling dijalan Orang-orang kampung mengenalnya anak janda berambut ombak ditimba air bergantang-gantang disiram atas tubuhnya Tubuh biru tatapan mata biru lelaki berguling dijalan Lewat gardu Belanda dengan berani berlindung warna malam sendiri masuk kota ingin ikut ngubur ibunya Siasat Th IX, No. 42 1955 Gugur Ia merangkak di atas bumi yang dicintainya Tiada kuasa lagi menegak Telah ia lepaskan dengan gemilang pelor terakhir dari bedilnya Ke dada musuh yang merebut kotanya Ia merangkak di atas bumi yang dicintainya Ia sudah tua luka-luka di badannya Bagai harimau tua susah payah maut menjeratnya Matanya bagai saga menatap musuh pergi dari kotanya Sesudah pertempuran yang gemilang itu lima pemuda mengangkatnya di antaranya anaknya Ia menolak dan tetap merangkak menuju kota kesayangannya Ia merangkak di atas bumi yang dicintainya Belumlagi selusin tindak mautpun menghadangnya. Ketika anaknya memegang tangannya ia berkata : ” Yang berasal dari tanah kembali rebah pada tanah. Dan aku pun berasal dari tanah tanah Ambarawa yang kucinta Kita bukanlah anak jadah Kerna kita punya bumi kecintaan. Bumi yang menyusui kita dengan mata airnya. Bumi kita adalah tempat pautan yang sah. Bumi kita adalah kehormatan. Bumi kita adalah juwa dari jiwa. Ia adalah bumi nenek moyang. Ia adalah bumi waris yang sekarang. Ia adalah bumi waris yang akan datang.” Hari pun berangkat malam Bumi berpeluh dan terbakar Kerna api menyala di kota Ambarawa Orang tua itu kembali berkata : “Lihatlah, hari telah fajar ! Wahai bumi yang indah, kita akan berpelukan buat selama-lamanya ! Nanti sekali waktu seorang cucuku akan menacapkan bajak di bumi tempatku berkubur kemudian akan ditanamnya benih dan tumbuh dengan subur Maka ia pun berkata : -Alangkah gemburnya tanah di sini!” Hari pun lengkap malam ketika menutup matanya Hai, Kamu ! Luka-luka di dalam lembaga, intaian keangkuhan kekerdilan jiwa, noda di dalam pergaulan antar manusia, duduk di dalam kemacetan angan-angan. Aku berontak dengan memandang cakrawala. Jari-jari waktu menggamitku. Aku menyimak kepada arus kali. Lagu margasatwa agak mereda. Indahnya ketenangan turun ke hatiku. Lepas sudah himpitan-himpitan yang mengekangku. Jakarta, 29 Pebruari 1978 Kelelawar Silau oleh sinar lampu lalulintas Aku menunduk memandang sepatuku. Aku gentayangan bagai kelelawar. Tidak gembira, tidak sedih. Terapung dalam waktu. Ma, aku melihatmu di setiap ujung jalan. Sungguh tidak menyangka Begitu penuh kamu mengisi buku alamat batinku. Sekarang aku kembali berjalan. Apakah aku akan menelefon teman? Apakah aku akan makan udang gapit di restoran? Aku sebel terhadap cendikiawan yang menolak menjadi saksi. Masalah sosial dipoles gincu menjadi fizika. Sikap jiwa dianggap maya dibanding mobil berlapis baja. Hanya kamu yang enak diajak bicara. Kakiku melangkah melewati sampah-sampah. Akan menulis sajak-sajak lagi. Rasa berdaya tidak bisa mati begitu saja. Ke sini, Ma, masuklah ke dalam saku bajuku. Daya hidup menjadi kamu, menjadi harapan. Lagu Seorang Gerilya (Untuk puteraku Isaias Sadewa) Engkau melayang jauh, kekasihku. Engkau mandi cahaya matahari. Aku di sini memandangmu, menyandang senapan, berbendera pusaka. Di antara pohon-pohon pisang di kampung kita yang berdebu, engkau berkudung selendang katun di kepalamu. Engkau menjadi suatu keindahan, sementara dari jauh resimen tank penindas terdengar menderu. Malam bermandi cahaya matahari, kehijauan menyelimuti medan perang yang membara. Di dalam hujan tembakan mortir, kekasihku, engkau menjadi pelangi yang agung dan syahdu Peluruku habis dan darah muncrat dari dadaku. Maka di saat seperti itu kamu menyanyikan lagu-lagu perjuangan bersama kakek-kakekku yang telah gugur di dalam berjuang membela rakyat jelata Jakarta, 2 september 1977 Rumpun Alang-Alang Engkaulah perempuan terkasih, yang sejenak kulupakan, sayang Kerna dalam sepi yang jahat tumbuh alang-alang di hatiku yang malang Di hatiku alang-alang menancapkan akar-akarnya yang gatal Serumpun alang-alang gelap, lembut dan nakal Gelap dan bergoyang ia dan ia pun berbunga dosa Engkau tetap yang punya tapi alang-alang tumbuh di dada

Sumber: http://contohpantunpuisicerpen.blogspot.co.id/2015/02/10-contoh-puisi-ws-rendra.html
Aku Tulis Pamplet Ini Aku tulis pamplet ini karena lembaga pendapat umum ditutupi jaring labah-labah Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk, dan ungkapan diri ditekan menjadi peng – iya – an Apa yang terpegang hari ini bisa luput besok pagi Ketidakpastian merajalela. Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki menjadi marabahaya menjadi isi kebon binatang Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi, maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan. Tidak mengandung perdebatan Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan Aku tulis pamplet ini karena pamplet bukan tabu bagi penyair Aku inginkan merpati pos. Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian. Aku tidak melihat alasan kenapa harus diam tertekan dan termangu. Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar. Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju. Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran ? Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan. Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka. Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api. Rembulan memberi mimpi pada dendam. Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah yang teronggok bagai sampah Kegamangan. Kecurigaan. Ketakutan. Kelesuan. Aku tulis pamplet ini karena kawan dan lawan adalah saudara Di dalam alam masih ada cahaya. Matahari yang tenggelam diganti rembulan. Lalu besok pagi pasti terbit kembali. Dan di dalam air lumpur kehidupan, aku melihat bagai terkaca : ternyata kita, toh, manusia ! Pejambon Jakarta 27 April 1978 Bahwa Kita Ditantang Seratus Dewa Pengarang: W.S Rendra Aku tulis sajak ini untuk menghibur hatimu Sementara engkau kenangkan encokmu kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang Dan juga masa depan kita yang hampir rampung dan dengan lega akan kita lunaskan. Kita tidaklah sendiri dan terasing dengan nasib kita Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan. Suka duka kita bukanlah istimewa kerana setiap orang mengalaminya Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh Hidup adalah untuk mengolah hidup bekerja membalik tanah memasuki rahsia langit dan samodra serta mencipta dan mengukir dunia. Kita menyandang tugas, kerna tugas adalah tugas. Bukannya demi sorga atau neraka. tetapi demi kehormatan seorang manusia. kerana sesungguhnya kita bukanlah debu meski kita telah reyot,tua renta dan kelabu. Kita adalah kepribadian dan harga kita adalah kehormatan kita. Tolehlah lagi ke belakang ke masa silam yang tak seorang pun berkuasa menghapusnya. Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna. Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita. sembilan puluh tahun yang selalu bangkit melewatkan tahun-tahun lama yang porak peranda. Dan kenangkanlah pula bagaimana dahulu kita tersenyum senantiasa menghadapi langit dan bumi,dan juga nasib kita. Kita tersenyum bukanlah kerana bersandiwara. Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok. Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap. Sikap kita untuk Tuhan,manusia sesama,nasib dan kehidupan. Lihatlah! sembilan puluh tahun penuh warna Kenangkanlah bahawa kita telah selalu menolak menjadi koma. Kita menjadi goyah dan bongkok kerna usia nampaknya lebih kuat dr kita tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan. Aku tulis sajak ini untuk menghibur hatimu Sementara kau kenangkan encokmu kenangkanlah pula bahwa hidup kita ditantang seratus dewa. 1972 Doa Seorang Serdadu Sebelum Berperang Tuhanku, WajahMu membayang di kota terbakar dan firmanMu terguris di atas ribuan kuburan yang dangkal Anak menangis kehilangan bapa Tanah sepi kehilangan lelakinya Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia Apabila malam turun nanti sempurnalah sudah warna dosa dan mesiu kembali lagi bicara Waktu itu, Tuhanku, perkenankan aku membunuh perkenankan aku menusukkan sangkurku Malam dan wajahku adalah satu warna Dosa dan nafasku adalah satu udara. Tak ada lagi pilihan kecuali menyadari -biarpun bersama penyesalan- Apa yang bisa diucapkan oleh bibirku yang terjajah ? Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai mendekap bumi yang mengkhianatiMu Tuhanku Erat-erat kugenggam senapanku Perkenankan aku membunuh Perkenankan aku menusukkan sangkurku Mimbar Indonesia Th. XIV, No. 25 18 Juni 1960 Gerilya Tubuh biru tatapan mata biru lelaki berguling di jalan Angin tergantung terkecap pahitnya tembakau bendungan keluh dan bencana Tubuh biru tatapan mata biru lelaki berguling dijalan Dengan tujuh lubang pelor diketuk gerbang langit dan menyala mentari muda melepas kesumatnya Gadis berjalan di subuh merah dengan sayur-mayur di punggung melihatnya pertama Ia beri jeritan manis dan duka daun wortel Tubuh biru tatapan mata biru lelaki berguling dijalan Orang-orang kampung mengenalnya anak janda berambut ombak ditimba air bergantang-gantang disiram atas tubuhnya Tubuh biru tatapan mata biru lelaki berguling dijalan Lewat gardu Belanda dengan berani berlindung warna malam sendiri masuk kota ingin ikut ngubur ibunya Siasat Th IX, No. 42 1955 Gugur Ia merangkak di atas bumi yang dicintainya Tiada kuasa lagi menegak Telah ia lepaskan dengan gemilang pelor terakhir dari bedilnya Ke dada musuh yang merebut kotanya Ia merangkak di atas bumi yang dicintainya Ia sudah tua luka-luka di badannya Bagai harimau tua susah payah maut menjeratnya Matanya bagai saga menatap musuh pergi dari kotanya Sesudah pertempuran yang gemilang itu lima pemuda mengangkatnya di antaranya anaknya Ia menolak dan tetap merangkak menuju kota kesayangannya Ia merangkak di atas bumi yang dicintainya Belumlagi selusin tindak mautpun menghadangnya. Ketika anaknya memegang tangannya ia berkata : ” Yang berasal dari tanah kembali rebah pada tanah. Dan aku pun berasal dari tanah tanah Ambarawa yang kucinta Kita bukanlah anak jadah Kerna kita punya bumi kecintaan. Bumi yang menyusui kita dengan mata airnya. Bumi kita adalah tempat pautan yang sah. Bumi kita adalah kehormatan. Bumi kita adalah juwa dari jiwa. Ia adalah bumi nenek moyang. Ia adalah bumi waris yang sekarang. Ia adalah bumi waris yang akan datang.” Hari pun berangkat malam Bumi berpeluh dan terbakar Kerna api menyala di kota Ambarawa Orang tua itu kembali berkata : “Lihatlah, hari telah fajar ! Wahai bumi yang indah, kita akan berpelukan buat selama-lamanya ! Nanti sekali waktu seorang cucuku akan menacapkan bajak di bumi tempatku berkubur kemudian akan ditanamnya benih dan tumbuh dengan subur Maka ia pun berkata : -Alangkah gemburnya tanah di sini!” Hari pun lengkap malam ketika menutup matanya Hai, Kamu ! Luka-luka di dalam lembaga, intaian keangkuhan kekerdilan jiwa, noda di dalam pergaulan antar manusia, duduk di dalam kemacetan angan-angan. Aku berontak dengan memandang cakrawala. Jari-jari waktu menggamitku. Aku menyimak kepada arus kali. Lagu margasatwa agak mereda. Indahnya ketenangan turun ke hatiku. Lepas sudah himpitan-himpitan yang mengekangku. Jakarta, 29 Pebruari 1978 Kelelawar Silau oleh sinar lampu lalulintas Aku menunduk memandang sepatuku. Aku gentayangan bagai kelelawar. Tidak gembira, tidak sedih. Terapung dalam waktu. Ma, aku melihatmu di setiap ujung jalan. Sungguh tidak menyangka Begitu penuh kamu mengisi buku alamat batinku. Sekarang aku kembali berjalan. Apakah aku akan menelefon teman? Apakah aku akan makan udang gapit di restoran? Aku sebel terhadap cendikiawan yang menolak menjadi saksi. Masalah sosial dipoles gincu menjadi fizika. Sikap jiwa dianggap maya dibanding mobil berlapis baja. Hanya kamu yang enak diajak bicara. Kakiku melangkah melewati sampah-sampah. Akan menulis sajak-sajak lagi. Rasa berdaya tidak bisa mati begitu saja. Ke sini, Ma, masuklah ke dalam saku bajuku. Daya hidup menjadi kamu, menjadi harapan. Lagu Seorang Gerilya (Untuk puteraku Isaias Sadewa) Engkau melayang jauh, kekasihku. Engkau mandi cahaya matahari. Aku di sini memandangmu, menyandang senapan, berbendera pusaka. Di antara pohon-pohon pisang di kampung kita yang berdebu, engkau berkudung selendang katun di kepalamu. Engkau menjadi suatu keindahan, sementara dari jauh resimen tank penindas terdengar menderu. Malam bermandi cahaya matahari, kehijauan menyelimuti medan perang yang membara. Di dalam hujan tembakan mortir, kekasihku, engkau menjadi pelangi yang agung dan syahdu Peluruku habis dan darah muncrat dari dadaku. Maka di saat seperti itu kamu menyanyikan lagu-lagu perjuangan bersama kakek-kakekku yang telah gugur di dalam berjuang membela rakyat jelata Jakarta, 2 september 1977 Rumpun Alang-Alang Engkaulah perempuan terkasih, yang sejenak kulupakan, sayang Kerna dalam sepi yang jahat tumbuh alang-alang di hatiku yang malang Di hatiku alang-alang menancapkan akar-akarnya yang gatal Serumpun alang-alang gelap, lembut dan nakal Gelap dan bergoyang ia dan ia pun berbunga dosa Engkau tetap yang punya tapi alang-alang tumbuh di dada

Sumber: http://contohpantunpuisicerpen.blogspot.co.id/2015/02/10-contoh-puisi-ws-rendra.html
0 Komentar untuk "KUMPULAN PUISI W. S. RENDRA TERBARU 2016"

Back To Top